![]() |
Kredit Gambar: | /Unsplash
Masalah krisis populasi di Jepang merupakan pengetahuan umum. Bentuk demografi yang terlalu banyak angka orang tua dibanding kaum muda, menjadikan krisis tenaga kerja di Jepang saat ini.
Demi
menangani masalah kependudukan tersebut, pemerintah melakukan survei ke kaum
muda Jepang. Survei akan fokus melihat alasan kaum muda tidak menikah.
Diharapkan,
data survei dapat menunjukan inti permasalahan mengapa populasi Jepang
berkembang. Dari hasil survei, jawahan para kaum muda tersebut cukup
mengagetkan!
Jawaban Para Kaum Muda Mudah Membuat Prihatin
Survei
sudah diadakan sejak tahun 2023 oleh departemen kaum dan keluarga di
pemerintahan Jepang. Pemerintah mengadakan survey ini setelah mendapatkan
perspektif para ahli demografi soal krisis. Sekarang waktunya mencari data dari
masyarakat langsung.
Dari survei
yang dilakukan, jawabannya cukup mencengangkan jika dilihat dari perspektif
masyarakat umum Indonesia. Ternyata alasan utama banyak kaum muda tidak menikah
adalah tidak adanya waktu dan kesempatan untuk menjalin relasi. Kaum muda umur
25 sampai 34 tahun terlalu sibuk memenuhi kewajiban kerja.
Sekalipun
tidak bekerja, mereka mengurus orang tua dan kesibukan lainnya. Hasilnya,
kondisi yang ideal untuk menjalin relasi turun drastis.
Kaum muda
tersebut juga tidak ada motivasi mencari jalan untuk jalin relasi. Mereka tidak
usahakan cari pasangan lewat jasa perjodohan atau minta tolong dijodohkan
kenalan. Menurut mereka, usaha ini belum tentu menghasilkan dan menyita banyak
waktu.
Banyak kaum
muda juga merasa bahwa menikah akan menyebabkan masalah dari segi biaya hidup.
Di saat kondisi ekonomi stidak sehat untuk pemenuhan biaya hidup sendiri, tentu
sulit juga berfikir soal menikah.
Membiayai
pasangan dan anak tentu saja lebih berat daripada cari uang untuk diri sendiri.
Selama kesejahteraan kerja tidak terjamin, banyak kaum muda tidak mau menikah.
Jika
dilihat, alasan kaum muda enggan
menikah tersebut memang logis. Seituasi kerja di Jepang adalah penjahat utama
krisis populasi di Jepang. Sayangnya, budaya kerja yang toxic ini sudah
mendarah daging di warga Jepang dan pastinya sulit diatasi.
Pemerintah Jepang
harus benar-benar mau melakukan reformasi besar-besaran pada situasi kerja di
sana sebagai solusi. Perbahan besar tentu saja tidak dapat terjadi dalam waktu
pendek, mudah-mudahan perbaikan jangka panjang sudah dirancang mulai dari
sekarang.
Krisis Populasi di Jepang Buka Kesempatan Tenaga Kerja
Indonesia
Memang
cukup menyedihkan situasi masalah
demografi Jepang itu. Menangani masalah budaya kerja tentunya tidak mudah.
Situasi kerja yang toxic di Jepang lebih karena tradisi dan kebiasaanya.
Untuk mengubah budaya
kerja ini, prosesnya tentu lama. Jadi, krisis populasi akan makan waktu jangka
panjang untuk diperbaiki.
Walaupun mengharukan, kondisi
para kaum muda Jepang tersebut membuka peluang bagi tenaga kerja Indonesia.
Saat kaum muda sedikit di Jepang, pemenuhan lowongan kerja di sana juga kurang.
Kondisi inilah yang menjadi potensi baik.
Indonesia memiliki
tenaga kerja banyak yang siap kerja. Menggunakan jasa LPK, lulusan SMA saja
sudah bisa magang ke Jepang.
Pendapatan kerja di
Jepang tentu saja lebih banyak daripada di Indonesia. Walaupun di Jepang sedang
terjadi kenaikan biaya hidup, gaji yang didapat biasanya tetap cukup untuk
hidup nikmat bagi para pekerja Indonesia.
Bagi yang ingin kerja
di Jepang, sekarang adalah waktu yang tepat. Selama krisis populasi di Jepang
masih berlangsung, lowongan bagi tenaga kerja Indoensia masih terbuka besar.