Kaum muda di Jepang makin sulit pacaran, ini termasuk anak remaja di sana.
Kredit Gambar: /Unsplash
Di Jepang
sedang krisis populasi sekarang. Banyak pihak mengharapkan kaum muda bisa jadi
solusi dengan membentu keluarga yang sehat. Sayangnya, hal ini sulit terwujud
karena kaum muda di Jepang sulit
pacaran.
Apa yang menyebabkan mereka
makin sulit pacaran dibanding generasi orang tua mereka? Mari bahas berbagai
faktornya di sini!
3 Faktor yang Buat Pacaran Lebih Sulit di Kaum Muda Jepang
Dari banyak
pemberitaan dan hasil survey, didapat 3 sumber masalah utama yang sebabkan kaum
mudah tidak mau pacaran ataupun menikah. Berikut adalah 3 faktor tersebut:
1. Faktor Fokus Masa Muda yang Berbeda Dibanding Dulu
Hal utama yang membuat
banyak kaum muda di Jepang sulit pacaran adalah fokus mereka akan kehidupan
berubah. Jika memandang cari pasangan bukan hal utama, tentu saja mereka tidak
mau segera pacaran.
Nah, masalahnya
pilihan jalur hidup yang dipilih ini mendorong prioritas pacara sangat jauh. Contoh
saja seorang muda ingin mendalami karir dan hobi sebagai content creator. Untuk
keperluan ini, ia harus bekerja keras usaha sendiri sampai mendapatkan views
dan follower banyak.
Proses dedikasi jadi
content creator ini bisa makan waktu lama hingga ia sampai umur 30-an yang
sudah tergolong tidak muda lagi. Kesempatan cari pacar dan nikah di usia
tersebut pasti lebih tipis dibanding saat masih muda sebelum jadi content
creator bukan?
Fokus dedikasi pada
pekerjaan ini bagus tentunya. Banyak orang muda di Jepang memang sedang
dedikasi untuk karir seperti ini. Namun, dedikasi dan fokus tersebut membuat
mereka enggan cari pasangan dulu.
2. Kesempatan Pacaran Makin Berkurang di Antara Kaum Muda
Bukannya kaum muda
Jepang tidak mau menikah, tapi jika kesempatan untuk pacaran saja sulit,
bagaimana bisa jalin relasi serius? Di Jepang sekarang ini, tekanan untuk
produktif sangat tinggi. Para kaum muda yang bekerja tidak memiliki kesempatan
sosialisasi cukup.
Kehidupan pekerja
Jepang rata-rata kurang fleksible. Mereka lebih dedikasi ke dunia karir
daripada membangun hubungan sosial dan relasi. Jam kosong lebih digunakan untuk
istirahat karena kaum muda ini lebih sibuk kerja.
3. Tekanan Biaya Hidup Makin Buat Pusing Kaum Muda
Menyelesaikan masalah
angka kelahiran Jepang hanya bisa dilakukan jika kaum muda lebih sejahtera.
Sekarang ini tekanan hidup dari segi harga-harga makin tinggi. Jadinya, kaum
muda membatasi pengeluaran untuk cari pasangan dan lebih menikmati pengeluaran
untuk diri sendiri.
Jika mereka lebih
ringan biaya hidup, mereka lebih leluasa cari kesempatan untuk mencari
pasangan. Biaya pacaran sampai berkeluarga tidak mahal, pasti lebih banyak
orang ingin menikah nantinya!
Krisis Populasi di Jepang Buka Kesempatan Tenaga Kerja
Indonesia
Saat kaum
muda di Jepang tidak mau pacaran dan menikah, tentu generasi baru di sana sulit
tumbuh. Hasilnya, angka kelahiran bayi di Jepang terus menurun. Hal ini sering
membuat prihatin banyak pihak.
Memang
cukup menyedihkan situasi masalah
demografi Jepang itu. Menangani situasi anak muda yang sekarang kurang
mendukung untuk cari pasangan akan serba sulit. Situasi kerja yang toxic,
masalah tekanan untuk raih prestasi dan juga besarnya kesibukan di Jepang harus
mulai dirubah sekarang.
Untuk mengubah budaya
kerja ini, prosesnya tentu lama. Jadi, krisis populasi akan makan waktu jangka
panjang untuk diperbaiki.
Walaupun mengharukan,
kondisi para kaum muda Jepang tersebut membuka peluang bagi tenaga kerja
Indonesia. Saat kaum muda sedikit di Jepang, pemenuhan lowongan kerja di sana
juga kurang. Kondisi inilah yang menjadi potensi baik.
Indonesia memiliki
tenaga kerja banyak yang siap kerja. Menggunakan jasa LPK, lulusan SMA saja
sudah bisa magang ke Jepang.
Pendapatan kerja di
Jepang tentu saja lebih banyak daripada di Indonesia. Walaupun di Jepang sedang
terjadi kenaikan biaya hidup, gaji yang didapat biasanya tetap cukup untuk
hidup nikmat bagi para pekerja Indonesia.
Bagi yang ingin kerja
di Jepang, sekarang adalah waktu yang tepat. Selama krisis populasi di Jepang
masih berlangsung, lowongan bagi tenaga kerja Indoensia masih terbuka besar.