Krisis Tenaga Kerja di Jepang Terjadi di Industri Animasi, Apakah Ada Solusi Soal Ini?
![]() |
Krisis tenaga kerja di Jepang berefek pada industri animasi, bagaimana nasip anime di sana selanjutnya? Kredit Gambar: /Unsplash |
Gak disangka industri animasi kena imbas masalah krisis tenaga kerja di Jepang juga. Masalah kekurangan tenaga kerja sudah umum ditemukan di berbagai industri, tapi ternyata efeknya lebih parah di dunia animasi. Mengapa krisis tenaga kerja di Jepang lebih parah di sektor ini? Berikut penjelasannya!
Masalah ketersediaan Talenta Akibat Krisis Tenaga Kerja di
Jepang
Jumlah fans
dan angka streaming media anime secara global naik terus. Mulai dari Demon
Slayer sampai Jujutsu Kaisen sudah dikenal banyak fans di seluruh dunia. Tanpa
animator yang bekerja dalam media ini, anime dengan kualtias tinggi tidak akan
bisa diproduksi.
Masalahnya,
animator yang bagus ternyata terbatas. Kebanyakan animator dengan nama beken
sudah kebanjiran proyek, padahal mereka harus seimbangkan waktu kerja dengan
hal lain. Tidak mungkin semua animator berbakat ini bekerja di setiap anime.
Nah, saat
jumlah talenta terbatas, demand akan anime naik. Kamu bisa lihat angka produksi
anime setiap tahunnya naik. Setiap tayangan pasti butuh animator berbakat.
Namun, hanya sebagian saja yang bisa memenuhi kebutuhan kerja ini.
Bagi yang
tidak tahu, jumlah animator di Jepang yang terdaftar hanya sekitar 6.000 orang
saja di tahun 2024 menurut data Japan Research Institute Ltd. Perlu
diperhatikan, mereka ini yang bekerja full time sebagai animator. Masih ada
juga animator paruh waktu, tapi jumlahnya tidak bisa di data karena mereka
tidak registrasi pekerjaan dengan jelas.
Jika
dibandingkan dengan produksi yang ada sekarang, jumlahnya sangat tidak imbang. Berdasarkan
banyak pemberitaan, permintaan anime menjolak gila-gilaan pasca pandemi. Pada
tahun 2022 saja, nilai industri anime Jepang sudah tembus 300 triliun Rupiah.
Diprediksi, angka ini bisa berlipat ganda mendekat tahun 2030 nanti.
Hal inilah
yang disayangkan banyak pihak. Uangnya ada banyak tapi kok yang bisa kerja di
industri ini hanya dalam jumlah kecil. Ternyata penyebabnya adalah penyusutan
jumlah tenaga kerja di Jepang! Jika dibiarkan, krisis tenaga kerja di
Jepang ini bisa hilangkan kesempatan industri animasi untuk berkembang lebih jauh.
Ternyata Banyak Orang Jepang Tidak Mau Jadi Animator
Selain
kurangnya tenaga kerja, ternyata masalah minim animator muncul karena kurangnya
minat muda-mudi Jepang terjun ke industri ini. Masala utamanya ternyata gaji
jadi animator di Jepang sangat kecil dibanding beban tugasnya. Selain itu kamu
harus siap mendapat jam kerja yang tinggi.
Dua
kombinasi ini membuat hanya sedikit orang yang niat jadi animator. Orang yang kerja
di Jepang memilih karir lain yang bisa dapat penghasilan lebih tinggi atau jam
kerja yang lebih nyaman.
Sebagai info saja, Banyak animator muda kabur dari pekerjaan mereka karena tidak tahan. Coba
bayangkan, gaji rata-rata mereka cuma sekitar 130 ribu Rupiah per jam tapi
dapat tuntutan kerja sampai 225 jam per bulan. Jam kerja ini jauh dari rasional
dibandingkan pekerjaan lain.
Sebagai
note, Asosiasi Industri Anime di Jepang memiliki data survey bahwa hanya 37%
animator Jepang dapat penghasilan sampai 20 juta per bulan. Padahal, besaran
gaji sebesar itu bisa di dapat dengan kerja jadi staff konstruksi dan buruh
pengelolaan makanan dengan jam kerja lebih normal.
Dari
informasi ini, nggak heran banyak yang berhenti karena alasan stress, sakit dan
ingin pindah kerja. Kombinasi kondisi kerja tidak menarik dan krisis
tenaga kerja di Jepang, membuat jumlah animator industri di Jepang makin
menyusut akhirnya.
Masalah Pembelajaran dan Pengembangan Skill Animator yang
Sulit
Masalah
lain untuk isi kekurangan animator adalah soal pendidikannya. Kebanyakan
animator di Jepang belajar otodidak dan tidak ada pelatihan khusus. Padahal
dulu, animator berlajar dari senior di studio animasi dan mengembangkan skill
dari situ.
Sekarang,
beban kerja para senior makin meningkat dan para junior harus pontang-panting
belajar sendiri. Demand animasi yang makin tinggi ke senior, menghilangkan
program mentorship yang dulu diandalkan untuk hasilkan animator baru.
Walaupun
proses mentorship mulai hilang, banyak studio di industri animasi di
Jepang mulai membangkitkan budaya ini. Contoh saja studio animasi seperti Toei dan
Bandai Namco terus membuat program pelatihan dengan tunjangan bulanan.
Para freelance
animasi Jepang yang ingin berkembang bisa ikut program ini dan mendapatkan
pelatihan dari pihak profesional. Selain itu,
Asosiasi NAFCA juga
rencananya bikin ujian sertifikasi animator nasional buat standarisasi
keterampilan. Sedangkan pihak pemerintah lewat program Young Animator Training
Project, telah bantu mendanai pelatihan sejak 2010.
Seorang
analis di Financial Times bilang, “Kalau Jepang tidak segera memperbaiki
masalah animator, negara lain seperti China bisa mengambil kesempatan.” Sudah
jelas, kalau tidak ada perbaikan, dunia animasi Jepang harus siap-siap lihat
anime bikinan luar Jepang.
Anime asal
China yaitu Donghwa sudah terus tumbuh kualitasnya. Mulai dari Link Click sampai To Be Hero X adalah contohnya!
Apakah Ada Solusi Lain Masalah Ini?
Sebagai
fans anime, kamu bisa bantu dengan menyalurkan dana ke studio yang mau
mengembangkan tenaga kerja-nya. Hindari mendukung studio yang tertangkap
melakukan eksploitasi pada animator.
Beri
dukungan ini bisa dengan menonton dengan cara legal anime dari studi yang baik.
Cara lain adalah beli merchandise resmi dari anime yang berasal dari studio
tadi. Dana yang diperoleh akan disalurkan ke animator jika studio tersebut
memang mau memelihara kesejahteraan animator.
Dari sisi pemerintah, mereka dapat mencegah krisis tenaga kerja di Jepang lebih parah. Mereka bisa mulai dari menyejahterakan animator dengan program pemerintah yang lebih besar. Selain itu, pemerintah juga bisa selesaikan masalah mortalitas di Jepang. Saat jumlah penduduk bisa tumbuh, pasti golongan muda baru yang mau jadi animator akan semakin banyak!