Krisis Tenaga Kerja di Jepang Terjadi di Industri Animasi, Apakah Ada Solusi Soal Ini?

Krisis tenaga kerja di Jepang berefek pada industri animasi, bagaimana nasip anime di sana selanjutnya?
Kredit Gambar: Daniel Chekalov/Unsplash

Gak disangka industri animasi kena imbas masalah krisis tenaga kerja di Jepang juga. Masalah kekurangan tenaga kerja sudah umum ditemukan di berbagai industri, tapi ternyata efeknya lebih parah di dunia animasi. Mengapa krisis tenaga kerja di Jepang lebih parah di sektor ini? Berikut penjelasannya!

Masalah ketersediaan Talenta Akibat Krisis Tenaga Kerja di Jepang

Jumlah fans dan angka streaming media anime secara global naik terus. Mulai dari Demon Slayer sampai Jujutsu Kaisen sudah dikenal banyak fans di seluruh dunia. Tanpa animator yang bekerja dalam media ini, anime dengan kualtias tinggi tidak akan bisa diproduksi.

Masalahnya, animator yang bagus ternyata terbatas. Kebanyakan animator dengan nama beken sudah kebanjiran proyek, padahal mereka harus seimbangkan waktu kerja dengan hal lain. Tidak mungkin semua animator berbakat ini bekerja di setiap anime.

Nah, saat jumlah talenta terbatas, demand akan anime naik. Kamu bisa lihat angka produksi anime setiap tahunnya naik. Setiap tayangan pasti butuh animator berbakat. Namun, hanya sebagian saja yang bisa memenuhi kebutuhan kerja ini.

Bagi yang tidak tahu, jumlah animator di Jepang yang terdaftar hanya sekitar 6.000 orang saja di tahun 2024 menurut data Japan Research Institute Ltd. Perlu diperhatikan, mereka ini yang bekerja full time sebagai animator. Masih ada juga animator paruh waktu, tapi jumlahnya tidak bisa di data karena mereka tidak registrasi pekerjaan dengan jelas.

Jika dibandingkan dengan produksi yang ada sekarang, jumlahnya sangat tidak imbang. Berdasarkan banyak pemberitaan, permintaan anime menjolak gila-gilaan pasca pandemi. Pada tahun 2022 saja, nilai industri anime Jepang sudah tembus 300 triliun Rupiah. Diprediksi, angka ini bisa berlipat ganda mendekat tahun 2030 nanti.

Hal inilah yang disayangkan banyak pihak. Uangnya ada banyak tapi kok yang bisa kerja di industri ini hanya dalam jumlah kecil. Ternyata penyebabnya adalah penyusutan jumlah tenaga kerja di Jepang! Jika dibiarkan, krisis tenaga kerja di Jepang ini bisa hilangkan kesempatan industri animasi untuk berkembang lebih jauh.

Ternyata Banyak Orang Jepang Tidak Mau Jadi Animator

Selain kurangnya tenaga kerja, ternyata masalah minim animator muncul karena kurangnya minat muda-mudi Jepang terjun ke industri ini. Masala utamanya ternyata gaji jadi animator di Jepang sangat kecil dibanding beban tugasnya. Selain itu kamu harus siap mendapat jam kerja yang tinggi.

Dua kombinasi ini membuat hanya sedikit orang yang niat jadi animator. Orang yang kerja di Jepang memilih karir lain yang bisa dapat penghasilan lebih tinggi atau jam kerja yang lebih nyaman.

Sebagai info saja, Banyak animator muda kabur dari pekerjaan mereka karena tidak tahan. Coba bayangkan, gaji rata-rata mereka cuma sekitar 130 ribu Rupiah per jam tapi dapat tuntutan kerja sampai 225 jam per bulan. Jam kerja ini jauh dari rasional dibandingkan pekerjaan lain.

Sebagai note, Asosiasi Industri Anime di Jepang memiliki data survey bahwa hanya 37% animator Jepang dapat penghasilan sampai 20 juta per bulan. Padahal, besaran gaji sebesar itu bisa di dapat dengan kerja jadi staff konstruksi dan buruh pengelolaan makanan dengan jam kerja lebih normal.

Dari informasi ini, nggak heran banyak yang berhenti karena alasan stress, sakit dan ingin pindah kerja. Kombinasi kondisi kerja tidak menarik dan krisis tenaga kerja di Jepang, membuat jumlah animator industri di Jepang makin menyusut akhirnya.

Masalah Pembelajaran dan Pengembangan Skill Animator yang Sulit

Masalah lain untuk isi kekurangan animator adalah soal pendidikannya. Kebanyakan animator di Jepang belajar otodidak dan tidak ada pelatihan khusus. Padahal dulu, animator berlajar dari senior di studio animasi dan mengembangkan skill dari situ.

Sekarang, beban kerja para senior makin meningkat dan para junior harus pontang-panting belajar sendiri. Demand animasi yang makin tinggi ke senior, menghilangkan program mentorship yang dulu diandalkan untuk hasilkan animator baru.

Walaupun proses mentorship mulai hilang, banyak studio di industri animasi di Jepang mulai membangkitkan budaya ini. Contoh saja studio animasi seperti Toei dan Bandai Namco terus membuat program pelatihan dengan tunjangan bulanan.

Para freelance animasi Jepang yang ingin berkembang bisa ikut program ini dan mendapatkan pelatihan dari pihak profesional. Selain itu,  Asosiasi NAFCA juga rencananya bikin ujian sertifikasi animator nasional buat standarisasi keterampilan. Sedangkan pihak pemerintah lewat program Young Animator Training Project, telah bantu mendanai pelatihan sejak 2010.

Seorang analis di Financial Times bilang, “Kalau Jepang tidak segera memperbaiki masalah animator, negara lain seperti China bisa mengambil kesempatan.” Sudah jelas, kalau tidak ada perbaikan, dunia animasi Jepang harus siap-siap lihat anime bikinan luar Jepang.

Anime asal China yaitu Donghwa sudah terus tumbuh kualitasnya. Mulai dari Link Click sampai To Be Hero X adalah contohnya!

Apakah Ada Solusi Lain Masalah Ini?

Sebagai fans anime, kamu bisa bantu dengan menyalurkan dana ke studio yang mau mengembangkan tenaga kerja-nya. Hindari mendukung studio yang tertangkap melakukan eksploitasi pada animator.

Beri dukungan ini bisa dengan menonton dengan cara legal anime dari studi yang baik. Cara lain adalah beli merchandise resmi dari anime yang berasal dari studio tadi. Dana yang diperoleh akan disalurkan ke animator jika studio tersebut memang mau memelihara kesejahteraan animator.

Dari sisi pemerintah, mereka dapat mencegah krisis tenaga kerja di Jepang lebih parah. Mereka bisa mulai dari menyejahterakan animator dengan program pemerintah yang lebih besar. Selain itu, pemerintah juga bisa selesaikan masalah mortalitas di Jepang. Saat jumlah penduduk bisa tumbuh, pasti golongan muda baru yang mau jadi animator akan semakin banyak!

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *