Pekerja Gen Z di Jepang Banyak yang Quiet Quiting, Akankah Budaya Kerja di Sana Jadi Loyo?

 

Pekerja gen z di Jepang melakukan quite quiting di perusahaan yang tidak menghargai mereka.
Kredit Gambar: Kenny Eliason/Unsplash

Pekerja Gen Z di Jepang ternyata sudah berubah persepsinya dibanding pekerja Jepang generasi sebelumnya. Generasi pekerja di Jepang sebelumnya memiliki dedikasi ke perusahaan sangat besar dan bahkan rela mengorbankan diri demi memajukan perusahaan.

Trend Quiet Quiting di Golongan Muda Pekerja Jepang

Sekarang ini, pekerja Gen Z di Jepang banyak yang praktek quiet quiting. Bagi yang tidak tahu, quiet quiting adalah tindakan bekerja sebatas minimal yang dibutuhkan perusahaan. Tidak ambil lembur, langsung pulang saat jam kerja selesai dan bekerja tanpa mencari kenaikan posisi ataupun bonus.

Dari penilitian Mynavi Career Research Lab, mereka menemukan 45% pekerja melakukan pekerjaan minimal sesuai tugas mereka. Tidak ada dedikasi lebih seperti pada generasi pekerja Jepang sebelumnya. Penelitian ini dilakukan pada 3.000 pekerja dengan umur 20 – 59 tahun.

Ditemukan member dari 45% yang menjawab bekerja minimal ternyata berumur 20an tahun, alias Gen Z. Apa yang menyebabkan perubahan budaya kerja pada orang muda di Jepang ini terjadi?

Alasan Gen Z Jepang Memilih Quiet Quiting

Trend quiet quiting di Jepang mulai terasa setelah pandemi melanda. Kebanyakan anak muda yang merasakan situasi pandemi melakukan analisa terhadap budaya kerja di Jepang.

Bekerja memang perlu, tapi dedikasi berlebihan terhadap perusahaan tidak seindah yang diceritakan generasi pekerja Jepang sebelumnya. Banyak pekerja Gen Z melihat orang tua mereka yang bekerja keras tetap di PHK saat pendemi tiba.

Selain itu, upah, gaji dan kesempatan naik jabatan makin sempit saat ini. Para perusahaan memotong cost untuk para pekerjanya agar mendapatkan keuntungan lebih. Banyak perusahaan Jepang menganggap budaya kerja yang tinggi di Jepang sebagai hal normal dan tidak memberi reward yang sesuai.

Padahal, kondisi kehidupan di Jepang sudah berubah. Sekarang harga semakin mahal untuk berbagai kebutuhan. Beli rumah saja bisa setengah mati susahnya di Jepang saat ini, jadi kebanyakan orang memilih sewa apartemen atau ngontrak rumah saja.

Melihat semua hal tersebut, para golongan muda di Jepang akhirnya banting stir. Mereka tidak mau meniru orang tua mereka yang terlalu berdedikasi ke perusahaan. Mereka memilih bekerja dengan menjaga keseimbangan pola hidup.

Gen Z sekarang merasa cukup dapat gaji upah minimal, tidak bisa naik pangkat ataupun tidak bisa dapat bonus. Mereka akan puas selama punya waktu menjalani hobi, bergaul dengant teman ataupun ambil kesempatan untuk berpergian.

Para Gen Z di Jepang ini tidak malas lho! Mereka tetap selesaikan pekerjaan mereka dengan baik dan mengikuti aturan. Namun, saat diminta bekerja lebih di atas jam kontrak, mereka akan minta bayaran yang sesuai. Jika perusahaan tidak memenuhi bayaran tersebut, mereka akan menolak pekerjaan tambahan tersebut.

Jika di era dulu, para pekerja Jepang rela lembur tidak dibayar hanya demi kemajuan perusahaan. Namun, para Gen Z di Jepang melihat dedikasi seperti ini sering tidak dihargai perusahaan dan memilih quiet quiting.

Banyak Peniliti Demografi di Jepang Mendukung Trend Quiet Quiting

Trend quiet quiting di Jepang ini pasti dibenci perusahaan. Namun, banyak peneliti demografi Jepang mendukung trend ini. Loh, kok malah mendukung trend yang menurunkan produktivitas di Jepang ini?

Sumie Kawakami, yang merupakan Dosen Social Science  di Universitas Yamanashi Gakuin, bahkan memberi komentar pada wawancara dengan DW.COM.

Beliau merasa golongan muda Jepang banyak menyaksikan orang tua mereka mengorbankan banyak hal demi perusahaan hingga mengorbankan kehidupan privasi mereka. Melihat hal tersebut, para Gen Z merasa kehidupan seperti itu tidak cocok dengan mereka.

Sumie Kawakami juga menekankan, di era dulu, pekerja masih dihargai perusahaan dengan memberi banyak benefit hingga pekerja tersebut pensiun. Namun, sekarang sudah berbeda.

Perusahaan banyak mengurangi pengeluaran untuk karyawan, memperkerjakan staff tanpa kontrak kerja penuh dan bahkan bonus kerja tidak lagi sebanyak dulu. Dalam situasi seperti ini, motivasi Gen Z untuk menunjukan dedikasi ke perusahaan pasti makin kecil.

Banyak peniliti demografi yang memandang dedikasi orang Jepang generasi sebelumnya terlalu berlebihan. Dedikasi kerja inilah yang menyebabkan Jepang ada di situasi penyusutan penduduk saat ini.

Saat semua waktu diberikan untuk kerja, kapan mereka para pekerja bisa istirahat dan mencari pasangan? Akibat dedikasi kerja terlalu tinggi, banyak pekerja Jepang yang memandang anak sebagai beban.

Bayangkan jika suami istri memiliki dedikasi kerja tinggi, apakah mereka mau punya anak? Kemungkinan besarnya tidak, bukan? Dari perspektif ini, pekerja Gen Z di Jepang menjadi titik cerah yang baik. Golongan muda mulai menitik beratkan keseimbangan hidup dan bekerja.

Jika trend ini terus berkembang, ada kemungkinan anak muda Jepang berkesempatan lebih mudah cari pasangan dan berkeluarga. Saat perspektif berkeluarga menjadi lebih positif, demografi di Jepang perlahan akan kembali tumbuh sehat.

Akankah Etos Kerja Jepang Berkurang dengan Trend Quiet Quiting?

Banyak pihak merasa takut soal pergeseran budaya kerja ini. Walaupun dari sisi demografi ada peluang perbaikan, dari sisi perusahaan akan memiliki tanggapan berbeda. Jepang yang terkenal dengan etos kerja tinggi apakah akan berubah identitasnya?

Ternyata tidak juga! Selama diberikan kompensasi yang tepat dan stimulus yang sesuai, para orang muda di Jepang tetap giat bekerja. Contoh saja pada perusahaan kreatif di Jepang yang terus tumbuh. Banyak animator, pembuat konten, penyanyi, pembuat game dan berbagai pekerjaan industri kreatif lain tumbuh subur.

Para pekerja di industri kreatif Jepang menunjukan passion yang tinggi karena mereka menyukai pekerjaan mereka. Maka dari itu, perusahaan harus mencoba mencari jalan agar Gen Z Jepang menyukai bekerja di perusahaan mereka.

Jika masih menggunakan strategi lama seperti bonus dan naik jabatan, para Gen Z tidak akan tertarik. Coba tawarkan kesempatan untuk berlibur ataupun membuat situasi kerja menjadi fun. Perubahan budaya kerja di Jepang sudah mulai berjalan, jika perusahaan tidak mau berubah, mereka akan ditinggalkan.

Pada situasi krisis tenaga kerja di Jepang, ditinggalkan para pekerja muda bisa jadi masalah besar. Maka dari itu, perusahaan Jepang harus mulai merubah cara pendekatan mereka ke golongan muda saat ini!

Bagaimana dengan Pekerja Gen Z dari Luar Negeri di Jepang?

Saat Gen Z di Jepang mulai berubah perspektif kerja-nya, pekerja asing yang masuk ke Jepang masih memiliki dedikasi kerja tinggi. Contoh saja banyak orang Indonesia kerja magang ke Jepang dan bekerja keras di sana.

Orang Indonesia sering disebut sebagai pekerja keras oleh orang Jepang. Tidak aneh jika banyak perusahaan yang memilih pekerja dari Indonesia karena alasan ini. Selain itu, orang Indonesia menurut terhadap aturan dan arahan dari atasan.

Bagi perusahaan Jepang yang mencari pekerja dengan dedikasi tinggi, mereka bisa ambil pekerja dari luar seperti orang Indonesia. Saat pekerja Gen Z di Jepang merubah budaya kerja mereka, pekerja Indonesia menjadi pilihan favorit banyak perusahaan Jepang.

Bagi kamu yang ingin kerja ke Jepang lebih lancar, coba ingat bahasan di atas. Pastikan kamu menunjukan dedikasi kerja tinggi agar lebih mudah diterima perusahaan Jepang. Nanti kamu sendiri yang dapat benefit dipercaya lebih dan bahkan bisa bekerja permanen di Jepang!

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *