Jumlah Siswa Tidak Masuk Sekolah di Jepang Naik, Akankah Krisis Tenaga Kerja di Masa Depan Makin Parah?

Jumlah siswa tidak masuk sekolah di Jepang naik karena makin turunnya motivasi anak muda di sana.
Kredit Gambar: Yanhao Fang/Unsplash

Fenomena siswa tidak masuk sekolah di Jepang kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kementerian Pendidikan Jepang (MEXT) melaporkan bahwa pada tahun ajaran 2024, lebih dari 353.970 siswaSD dan SMP tercatat tidak bersekolah selama 30 hari atau lebih. Angka ini naik 2,2% dibanding tahun sebelumnya, dan menjadi sinyal serius bagi masa depan generasi muda Jepang.

Kenaikan ini tidak sekadar angka. Ia mencerminkan perubahan sosial yang semakin terlihat di negeri sakura: sekolah bukan lagi ruang nyaman bagi sebagian anak muda. Banyak dari mereka memilih tinggal di rumah, menarik diri dari rutinitas belajar, dan bahkan menolak seluruh bentuk interaksi sosial.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencatat sekitar 346.482 siswa, tren ini menunjukkan meski laju kenaikannya melambat, jumlah absolutnya terus melonjak. Artinya, lebih banyak anak Jepang yang kehilangan hubungan dengan sistem pendidikan formal setiap tahunnya.

Fenomena ini dikenal dengan istilah futoukou (不登校), atau ketidakhadiran sekolah tanpa alasan medis. Istilah ini telah lama menjadi topik diskusi di Jepang, namun kini mendapat perhatian baru karena jumlahnya terus memecahkan rekor.

MEXT mencatat, sebagian besar siswa futoukou mengaku kehilangan motivasi terhadap kehidupan sekolah. Sekitar 30% menyebut “tidak punya semangat untuk datang ke sekolah”, sementara 25% mengalami gangguan ritme hidup, dan lebih dari 20% menghadapi kecemasan atau depresi.

Pandemi COVID-19 turut berperan dalam mengubah pola pikir ini. Selama masa pembelajaran daring, banyak siswa dan orang tua menyadari bahwa “tidak datang ke sekolah” bukan selalu berarti kemunduran. Pandangan ini melekat hingga kini, membuat sebagian keluarga lebih permisif terhadap ketidakhadiran anak.

Masa depan ada di tangan anak muda Jepang, kalau mereka tidak masuk sekolah, siapa yang nanti kerja?
Kredit Gambar: frank mckenna/Unsplash

Namun, di balik angka itu, terselip dampak jangka panjang yang lebih luas. Jepang tengah menghadapi krisis tenaga kerja muda sekarang ini. Kalau populasi usia produktif terus menurun, sementara permintaan tenaga kerja meningkat di berbagai sektor, ekonomi Jepang akan tergerus.

Ketika banyak anak muda kehilangan minat terhadap sekolah, rantai pasokan sumber daya manusia masa depan ikut terganggu. Siswa yang tidak sekolah cenderung tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, yang akhirnya mengurangi jumlah tenaga kerja terampil dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.

Krisis ini sudah mulai dirasakan di industri manufaktur, teknologi, hingga layanan publik. Banyak perusahaan kesulitan menarik tenaga muda lokal, sementara generasi lama perlahan pensiun.

Di sisi lain, pemerintah Jepang mencoba menanggulangi masalah ini lewat program seperti COCOLO Plan, yang bertujuan memberikan ruang belajar alternatif bagi siswa futoukou. Hal ini diusahakan baik melalui pembelajaran daring, pusat dukungan belajar, maupun sekolah berbasis komunitas.

Langkah itu diharapkan dapat membantu siswa kembali menemukan makna belajar tanpa harus terjebak pada tekanan sosial yang membuat mereka menolak sekolah. Tapi upaya ini masih jauh dari kata cukup.

Jika tren siswa tidak masuk sekolah di Jepang terus meningkat, maka dampaknya akan terasa bukan hanya di dunia pendidikan, tetapi juga ekonomi nasional. Setiap anak yang kehilangan arah belajar adalah potensi produktif yang hilang dari masa depan Jepang.

Jepang harus mulai berfikir untuk mendorong siswa lebih antusias berangkat sekolah.
Kredit Gambar: Egor Myznik/Unsplash

Generasi muda Jepang kini berada di jalan bercabang. Meraka ada di antara tekanan sosial yang membuat mereka menarik diri, dan tanggung jawab besar mengisi kekosongan tenaga kerja di masa depan.

Pertanyaannya, apakah Jepang siap menampung generasi yang tumbuh tanpa sekolah dan memberi mereka tempat dalam sistem kerja yang semakin menuntut?

Jika pemerintah tidak memperbaiki kondisi para siswa yang tidak mau sekolah ini, kondisi krisis tenaga kerja tidak akan sembuh. Walaupun bisa memanfaatkan tenaga kerja asing seperti WNI untuk menembel kebutuhan tenaga kerja, Jepang juga harus segera cari solusi yang tepat!

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Pendaftaran Siswa Baru

banner

Artikel Terbaru